Masuk Cagar Budaya, Makam Mahmud Marzuki, Berikut Perjalanan Hidupnya

ARASYNEWS.COM, KAMPAR – Mahmud Marzuki tokoh perjuangan asal Bangkinang, Kampar Riau. Kiprahnya mungkin sebagian masyarakat belum banyak tahu. Padahal dialah orang pertama mengibarkan Merah Putih pasca kemerdekaan di Kampar.

Salah satu yang dikenang atas jasanya adalah pada salah satu jalan di kota Bangkinang, yakni Jalan Mahmud Marzuki.

Selain sebagai tokoh kemerdekaan, ia juga merupakan tokoh pendiri dan pengembang Muhammadiyah di Kampar. Perjuangan yang dilakukannya bukan saja menentang serta menghadapi penjajah namun juga mengentaskan masyarakat Kampar yang saat itu masih terbelenggu oleh kebodohan khususnya dari segi pendidikan.

Salah satu bukti peran sertanya dalam pengentasan kebodohan pada saat itu adalah dengan mendirikan Perguruan-perguruan Muhammadiyah yang sampai saat ini masih ada di Bangkinang.

Mahmud Marzuki lahir di Desa Kumantan Bangkinang pada tahun 1911 dari ayah bernama Pakih Rajo dan ibu Hainah. Ayahnya berasal dari Kubang Putih Bukittinggi dan ibunya dari Kumantan Bangkinang. Ia adalah anak tunggal.

Pada tahun 1918 Mahmud Marzuki masuk ke Sekolah Desa (Volkschool). Dan tahun 1921 ia tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena kekurangan biaya.

Untuk mengisi waktunya oleh ibunya beliau disekolahkan ke sekolah agama pada sore hari. Namun karena tekadnya yang tinggi untuk tetap melanjutkan sekolah maka pada tahun 1928, ia masuk ke Pesantren Tarbiyah Islamiyah Bangkinang dengan bantuan biaya dari mamaknya Engku Kadhi Rajo.

Selama belajar di pesantren ini, ia merupakan seorang santri yang pandai dan cakap dalam berpidato. Pada akhir tahun 1935 ia berangkat menuju India untuk belajar dan menambah pengetahuan dan wawasannya di Perguruan Islam Nazmia Arabic College Lucknow India. Setelah ia menamatkan studinya, pada tahun 1938 kembali ke Bangkinang.

Pada akhir tahun 1938 untuk memenuhi permintaan gurunya, ia mengajar di Pesantren Tarbiyatul Islamiyah Bangkinang. Mahmud Marzuki selain giat dalam mengajar, juga aktif dalam menyebarkan dakwah di sekitar wilayah Bangkinang.

Mahmud Marzuki memiliki cita-cita untuk mencerdaskan anak-anak Islam yang akan mewarisi kemajuan Islam kelak, sedangkan dakwah yang ditujukan kepada orang-orang tua untuk menambah pengetahuan tentang agama dan mempertebal keimanan dalam mengahadapi musuh-musuh yang ingin menghancurkan Islam.

Sebagai langkah pertama yang dilakukannya dalam menunjang kegiatan pendidikan dan dakwah yang ia cita-citakan itu, pada tahun 1939 ia bergabung sebagai anggota Muhammadiyah ranting Penyasawan. Menjelang berakhirnya tahun 1939 berkat kegiatan dakwahnya, ranting-ranting Muhammadiyah tumbuh pesat dan berkembang. Bangkinang yang semula merupakan satu ranting Muhammadiyah berubah menjadi Cabang yang membawahi 47 ranting kala itu. Berkat hasil yang ia lakukan, maka pada tahun awal tahun 1940 ia diangkat sebagai Pimpinan Muhammadiyah cabang Bangkinang.

Kemudian pada akhir tahun 1940, ia berangkat ke Payakumbuh. Disana beliau ditempatkan sebagai pengajar pada sekolah Tsanawiyah Muhammadiyah Payakumbuh. Pada tahun 1941, karena ketenarannya, ia diangkat sebagai Pimpinan Muhammadiyah Payakumbuh. Selama di Minangkabau ini pula Mahmud Marzuki bertemu dan mendapatkan ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah Minangkabau seperti Buya Hamka, Buya Mualimin, Buya Rasyid dan lain-lain.

Pada tahun 1942 ia kembali ke Bangkinang atas permintaan masyarakat Bangkinang, dengan alasan pada waktu itu masyarakat sangat membutuhkan seorang tokoh/pemimpin dalam masa-masa yang sulit dan genting untuk menghadapi penjajahan Jepang di Bangkinang.

Langkah pertama yang diambil sekembalinya dari Payakumbuh adalah memperkuat ukhwah islamiyah (persatuan) di kalangan masyarakat untuk menghadapi penjajah dengan jalan dakwah dan ceramah-ceramah yang membakar dan mengobarkan semangat anti penjajah.

Selain itu guna menggalang pesatuan masyarakat, ranting-ranting Muhammadiyah yang berada di daerah Bangkinang kemudian lebih diaktifkan sebagai penggerak dan pusat perlawanan terhadap penjajah seperti pendirian Kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan.

Pada tahun 1942 itu juga ia mendirikan Sekolah Menengah Muhammadiyah (yang sekarang menjadi Sekolah Mualimin Muhammadiyah Bangkinang, tempat dimana ia dimakamkan).

Selama masa penjajahan, ia juga pernah ditahan dan di bawa ke Pekanbaru. Selama masa penahanan, beliau bersama-sama dengan tokoh pejuang lainnya disiksa oleh tentara Jepang selama 23 hari.

Pada 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun, saat itu kabar kemerdekaan tidak langsung diterima masyarakat di daerah, termasuk di Kabupaten Kampar, Riau.

“Pada 5 September 1945, berita proklamasi baru tersiar di Air Tiris (Kampar) lewat tempelan pamplet yang ditempelkan orang yang datang dari Bukittinggi. Adanya berita itu mendorong Mahmud Marzuki dan Muhamad Amin pergi mengecek atau mencari informasi kebenaran cerita itu ke Kepala Kantor Pos dan Telegraf Bangkinang. Ternyata benar telah mendapat berita kemerdekaan tetapi dia tak berani untuk menyebar luaskan karena takut ancaman Jepang,” tulis buku sejarah keluaran 2018 itu.

Diduga teks proklamasi itu ditempelkan oleh petugas dari Sumatera Barat yang mulai menyebarkan teks tersebut setelah menerima berita resmi dari TM Hasan dan Dr M Amin selaku anggota PPKI dari Jakarta. Mereka datang ke Bukittinggi membawa teks proklamasi tersebut.

Pada 6 September 1945, bertepatan Hari Raya Idul Fitri 1365 H, dilaksanakan salad Id di lapangan tengah sawah Simpang Kubu, Air Tiris saat ini. Marzuki kala itu menyampaikan khotbahnya di hadapan masyarakat dan menyiarkan secara langsung kepada masyarakat luas akan berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Lapangan Beringin (saat ini bernama lapangan Merdeka).

“Penutup khotbahnya Mahmud Marzuki menyampaikan kepastian kemerdekaan yang telah dibacakan Bung Karno dan Hatta. Rakyat diminta bersedia berkorban mempertahankan kemerdekaan,” tulis buku itu.

Dalam akhir khotbahnya ia mengajak masyarakat untuk berkorban mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai tersebut.

Pada tanggal 8 September 1945 diadakan rapat untuk membahas,tindak lanjut dari berita proklamasi yang telah tersebar luas itu. Rapat ini dipimpin oleh Mahmud Marzuki. Salah satu hasil rapat ini menyimpulkan bahwa bendera merah putih harus segera dikibarkan di pusat-pusat pemerintahan di Bangkinang.

Pada tanggal 10 september 1945, terbentuklah Komite Nasional Indonesia Bangkinang dengan ketua I adalah Mahmud Marzuki.

Selanjutnya pada Senin 11 September 1945, Marzuki mengajak seluruh masyarakat berkumpul di depan Kantor Demang Bangkinang untuk menggelar upacara kemerdekaan. Kabar ini terdengar oleh Jepang, sehingga bala tentaranya dikerahkan di lapangan tersebut.

“Di hadapan 2.000 warga Marzuki pidato mengajak agar seluruh rakyat terutama yang hadir bertekad mempertahankan Merah Putih tetap di tiangnya,” tulis buku itu.

Tanggal 11 September 1945 itu merupakan upacara menaikan bendera merah putih di Bangkinang yang dipimpin oleh Mahmud Marzuki sebagai pemimpin upacara.

Kemudian, dua orang remaja datang ke M Marzuki menyerahkan bendera merah putih. Dengan beraninya M Marzuki membawa bendera itu di tiang. Saat akan dikibarkan hujan mengguyur deras. Sebagian warga mencari tempat berteduh.

“Selaku pemimpin upacara Mahmud Marzuki tetap di tempat walau hujan deras hingga bendera naik sampai ke puncak tiang,” terang buku sejarah itu.

Belanda dan Jepang kala itu sama-sama berada di tempat. Mereka hanya terdiam menyaksikan para pemuda tersebut.

“Belanda dan Jepang hadir di sana bukan untuk mengganggu pengibaran merah putih, tapi justru merasa heran melihat persatuan penduduk di bawah kepimpinannya (Marzuki),” tulis buku itu.

Setahun kemudian, Mahmud Marzuki wafat akibat sakit yang dideritanya (diperkirakan diperoleh semasa ia ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang. Ia wafat pada tanggal 5 agustus 1946.

Mahmud Marzuki dimakamkan di depan Sekolah Mualimin Muhammadiyah yang beliau dirikan. Makam Mahmud Marzuki terletak di Jalan Raya Bangkinang-Pekanbaru km 60, tepatnya di lingkungan MTsN Mualimin Muhammadiyah yang berada di bawah Yayasan Mualimin Muhammadiyah Bangkinang.

Makam terletak di sebelah utara bangunan sekolah. Orientasi makam adalah utara-selatan. Makam berada dalam areal pagar yang terbuat dari tembok berlapis keramik dan pagar besi, dengan luas 3,5 x 2,5 m. Pada bagian pagar besi sebelah selatan terdapat tulisan Mahmud Marzuki, yang juga terbuat dari besi. Secara umum tidak terdapat nisan pada makam ini. Yang menandai lokasi makam ini hanya berupa tembok keliling (seperti jirat) yang dilapisi keramik warna biru dengan luas 2 x 2,70 m dan tinggi 15 cm. Pada bagian tengah-tengah makam ini terdapat inskripsi dari semen bertulisan “Ayahanda Mahmud Marzuki Wafat 1946”.

Makam Mahmud Marzuki ini telah ditetapkan Sebagai Cagar Budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau dengan Nomor Inventaris Cagar Budaya 10/BCB-TB/B/03/2007.

Atas ketokohan dan perjuangan baik dalam pendidikan, dakwah dan tokoh pejuang kemerdekaan, maka Pemkab Kampar mengusulkannya sebagai Pahlawan Nasional dari daerah Kampar ke pemerintah pusat dari tahun 2004 hingga saat ini.

Nama Mahmud Marzuki sudah beberapa kali diusulkan untuk dikukuhkan sebagai pahlawan nasional ke Tim Peneliti Pengkaji Gelar Nasional (TP2GN) dan hingga saat ini usulan tersebut belum disetujui oleh Pemerintah Republik Indonesia, nama Mahmud Marzuki diabadikan sebagai Jalan di Kumantan di sekitar Sekolah Mualimin Muhammadiyah Bangkinang. []

Source. BPCB dan Kemdikbud

You May Also Like